Ku
Relakan Engkau Pergi
oleh: Himaya
Namaku
Salsa, aku mempunyai sahabat yang sempurna. Dan bernama Nia. Aku barsahabat
dengannya semenjak kecil, dikarenakan rumah kita berdekatan. Keluargaku pun
juga akrab dengan keluarga Nia.
Setiap
hari, waktu ku habis bersamanya. Aku sangat bersyukur bisa menghabiskan waktu
dengannya. Aku tau semua tentangnya. Aku tak mau waktu memisahkan kita. Aku
sangat sayang padanya.
Pada
suatu hari, Nia dan keluarganya harus keluar kota untuk mengunjungi neneknya.
Sebab mereka sangat rindu kepada beliau. Sebelum Nia dan keluarganya berangkat,
mereka tak lupa untuk pamit kepada keluargaku. Aku sedih berpisah dengan Nia.
Perasaanku berkata akan terjadi apa-apa dengan mereka. Aku berusaha untuk tidak
menghiraukan persaan itu, dan ku peluk Nia erat-erat sambil berbisik lirih,”Cepat
kembali Nia!” Nia hanya tersenyum dengan manisnya, sambil memberikan kunci
rumahnya. Setelah menerima kunci itu rasanya hatiku mulai bisa menerimannya dan
tenang. Setelah itu Nia dan keluarngnya bergegas masuk mobil dan berangkat. Tak
lupa juga lambaian tangan dari Nia untukku dari dalam cendela mobil. Dalam
hatiku, semoga engkau selamat.
Sudah 1
minggu Nia tak kunjung pulang. Aku hanya bisa melihat rumah terkunci dari
cendela kamarku. Aku sangat rindu padanya. Tawanya membuatku tidak kesepian
seperti ini. Aku ingin Nia segera pulang, segera bermain bersama kembali.
Sekian lama ku merenung, angin sepoi-sepoi telah membuatku tertidur sejenak.
Tiba-tiba mimpi buruk tentang Nia membangunkanku. Membuatku terdiam sejenak.
Saatku terdiam, terdengar suara tangisan menggangguku. Aku pun beranjak dari
kursi dan perlahan mencari suara itu. Saat ku buka pintu kamarku, terlihat
ibuku sedang menangis. Aku terkejut, lalu aku bertanya kepada ibu apa yang
terjadi? Tanpa dijawab, ibu langsung memelukku dengan erat. Aku semakin
binggung apa yang sebenarnya terjadi. Lalu ibu berbisik lirih dengan diiringi
tangisan, “Salsa ikhlaskan Nia pergi ya nak?” Mendengar bisikan itu, mataku
mulai berkaca-kaca, hatiku seperti tertusuk, dan aku hanya bisa terdiam. Lalu
aku melepaskan pelukan ibu dengan pelan. Ibu menyadari bahwa aku kurang
percaya, oleh karna itu ibu menjelaskan bahwa Nia dan keluarganya kecelakaan
dan mayat mereka sudah dimakamkan di desa daerah neneknya. Penjelasan itu membuat air mataku
jatuh, hatiku tergoncang dan aku langsung berlari meninggalkan ibu menuju
kamar. Aku masih tak percaya dengan peristiwa itu.
Dipikir-pikir
aku sudah mengurung diri di kamar selama 1 minggu. Aku mulai merasa bosan mengurung
diri ini. Lalu aku kuatkan tubuh yang lunglai ini untuk beranjak dari tempat
tidurku menuju kursi dekat cendela kamarku. Saat aku membuka kaca cendela, aku
melihat matahari yang mulai meninggi, burung-burung yang berterbangan, dan
udara sejuk yang kurasakan. Tapi entah kenapa, sudut pandangku berubah menuju
rumah yang terkunci dan berdebu. Mataku mulai berkaca-kaca kembali. Lalu aku
memegang kunci yang tergeletak di meja sambil aku genggam. Lalu aku mulai
beranjak lagi dari kursi dan keluar dari kamar. Aku mulai keluar rumah menuju
rumah Nia. Saat aku membuka pintu rumah Nia dengan kunci yng aku bawa, udara
pengap menyapa ku. Ku lanjutkan tuk masuk ke dalam dengan pelan. Di dalam
ruangan terlihat lorong-lorong bawah kursi tampak bersawang. Aku tetap
melanjutkan menuju kamar Nia. Saat ku membuka pintu kamar Nia, terlihat
foto-fotoku bersamanya tertempel di dinding dengan rapi. Mengingatkanku akan
saat bermain bersamanya. Air mataku mulai menetes kembali. Lalu kubuka cendela
kamar Nia agar udara masuk dengan lancar. Saatku buka cendela, tiba-tiba ada
sekilas bayangan lewat di belakangku. Aku menoleh dengan respon. Angin juga
tiba-tiba berhembus menerpaku sampai menjatuhkan dan membuka diary Nia. Aku
terkejut , entah siapa yang menjatuhkan diary ini. Aku mulai merasa merinding, tapi
ku beranikan tuk pelan-pelan mengambil dan membacanya. Tanganku tiba-tiba
gemetar saat membaca tulisan, “Relakan aku pergi Salsa”. Membaca tulisan diary
itu, aku langsung berlari sambil kujatuhkan diary itu. Aku sangat ketakutan,
sampai-sampai aku tak sadar bahwa kunci masih menggantung di pintu rumah Nia.
Aku tak peduli. Aku langsung masuk kamar dengan terburu-buru.
Setelah
aku menenangkan diriku, aku kembali lagi ke dalam rumah Nia untuk membereskan
kekacauan yang terjadi sebelumnya. Aku mengambil diary yang jatuh dan
meletakkan kembali di atas meja yang biasanya Nia taruh. Setelah itu aku
mengunci kembali pintu rumah Nia. Akhirnya aku bisa mengambil keputusan
sekarang, setelah merenung, dan memikirkan peristiwa yang terjadi. Ternyata
mengikhlaskan sahabat pergi itu tidak mudah, tapi aku harus berusaha
mengikhlaskan kepergiannya agar ia pergi dengan tenang meskipun hati ini terasa
sakit. Ku kan ikhlaskan engkau pergi Nia, wahai sahabatku.
0 komentar:
Posting Komentar